Hampir saja terlewat, sesi menulis untuk merayakan hari lahir Ozil. 19 september, Ozil ku genap satu tahun. Alih-alih buang uang untuk mengadakan pesta, kami berpikir untuk menyimpan saja dana pesta tersebut ke bentuk investasi untuk masa depannya. Sungguh saya tidak memandang negatif orang yang merayakan hari lahir, namun saya hanya tidak biasa saja merayakannya. Lagipula sayang uang
Sering kali di waktu senggang selepas mengajar saya terlibat percakapan ringan dengan sesama rekan guru. Banyak ternyata yang ingin memasukkan anaknya ke pesantren, dengan alasan pergaulan saat ini sudah sedemikian parah sehingga rasanya perlu untuk mengurung anak dari dunia luar dengan memasukkannya ke pesantren. Atau juga ada yang beralasan agar kelak anaknya menjadi penghapal Al-Qu’an, agar ia diajak anaknya masuk surga-Nya. Hati saya tergelitik. Oh iya, saya mau Ozil jadi apa ya?
Dokter, insinyur, arsitek, profesor, astronot, presiden. Ah, rasanya kok terlalu muluk menuntut anak untuk menjadi seperti yang kita harapkan. Apakah orang tua pernah memikirkan perasaan anak saat menjalankan apa yang tidak ia hendaki. Bayangkan, misalnya saja nanti saat Ozil sudah besar ia bagus bermain bola. Cita-citanya ia ingin bermain di klub besar di luar negeri. Namun karena ambisi ga jelas saya sebagai mamanya yang ingin Ozil menjadi Dokter Spesialis Syaraf, Ozil terpaksa mengubur keinginannya bermain bola, berkutat dengan buku pelajaran atau diktat kuliah yang tebalnya minta ampun itu. Ih, pusing pasti dia! Saya pun kalau di posisi dia tidak akan senang diperlakukan seperti itu. Akibatnya, potensi anak terkubur, jadi dokter spesialis syaraf pun tidak maksimal. Sayang kan?
Saya pernah punya pengalaman seperti ini. Ayah saya kepingin banget anaknya kuliah di UI, Universitas Indonesia. Saya kejar mati-matian, namun apa yang terjadi. Saya ga dapat satu kursi di UI. Saya nangis sejadi2nya karena merasa mengecewakan papa. Dari SD saya selalu mengupayakan diri untuk selalu berprestasi, bukan karena saya butuh tapi karena itu untuk papa saya. Sampai di titik kegagalan itu, saya merasa lelah menjadi bukan diri saya. Saya sadar, saya ini manusia biasa juga, bisa gagal. Saya mengubah diri saya. Saya coba untuk mengisi ruang kosong di hati saya yang selama ini terasa hampa, terasa tidak puas. Alhamdulilllah saya tidak terlambat mengambil keputusan. Saya puas telah melakukan apa yang menjadi cita-cita saya. Meski Cuma sebentar, tapi saya benar-benar puas pernah berada di dunia jurnalistik. Satu yang menjadi cita-cita selama SMP.
Nah, saya mau Ozil seperti itu nanti. Ia senang akan apa yang ia lakukan. Bahagia mengerjakan aktivitasnya. Meski bukan di bidang ke-agama-an. Tidak salah kan kalau dia tidak jadi penghapal Al-Qur’an? Tidak menjadikan ia buruk kan? Kalau pun dia memilih untuk itu, ya.. itu pilihannya bukan pilihan saya. Saya yakin bila semua orang di dunia ini mengerjakan apa yang dia sukai dan cintai, dunia ini pasti bersih akan keluh kesah, aura yang ditimbulkan pun positif selalu. Pekerjaan pun dilakukan secara maksimal output yang dihasilkan pasti hasil yang terbaik.
Untuk Ozil, mama tidak menuntut mu jadi apa-apa ‘Nak. Cintai dan lakukan apa yang menjadi minat mu. Yang terpenting adalah apa pun profesi yang kamu pilih kelak, jadilah orang yang berguna yang bisa memberi manfaat dari apa yang kamu lakukan. Jangan takut apa kata orang, lakukan apa yang menurut kamu terbaik, Mama pasti dukung Ozil selalu.
Selamat ulang tahun sayang ku. Mama Papa always love you ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar